Kalau Dinasti Politik, Anda Mau Apa ?

Opini157 Dilihat

KENDARIAKTUAL.COM, KENDARI – Aroma politik dinasti kini menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap demokrasi kita. Di Sulawesi Tenggara, fenomena ini menemukan panggungnya melalui keluarga besar Surunuddin, Asrun dan yang paling menyita perhatian adalah Klan Nur Alam Pilkada 2024 lewat. 2024, tiga
nama dari klan ini—Tina Nur Alam, Giona, dan Radan—muncul sebagai figur yang memanaskan pertarungan kepala daerah. Apakah kemunculan mereka murni lahir dari kapasitas individu, ataukah ada faktor lain yang mendorongnya?.

Untuk membedah fenomena ini, mari kita gunakan
lensa sosiolog Prancis Pierre Bourdieu—terutama konsep habitus, modal, dan arena.
Berkaca Pada Pemilu 2024, Klan paling sukses menjajal Pemilu adalah keluarga Bupati Konsel H. Surunuddin Dangga. 4 Anggota Keluarga (Istri dan 3 anaknya) sukses di dapil Kabupaten, Provinsi bahkan putrinya terpilih sebagai Senator DPD RI.

Bagaimana dengan Pilkada 2024. Fenomenal selain Klan Alm H. Imran (Siska Kota Kendari dan Wahyu, Konsel) tentu patut disematkan pada Klan Nur Alam. 3 anggota klannya yakni Tina Nur
Alam sebagai Calon Gubernur (berpasangan Ihsan sebagai klan Ridwan BAE, Klan Politik Besar Lainnya dari Sultra), Giona Sang Putri sebagai Calon Walikota Kendari dan sang adik, Radan calon Bupati Kab. Konawe Selatan. Naasnya, Pilkada 2024 klan ini belum beruntung.

Ketiganya gagal mencapai target singgasana kuasa. Kendati demikian, pesona mereka masih menyimpan
potensi besar kedepan.
Pilkada 2024 menunjukkan Pesona Nur Alam masih punya daya magis. Bulan bulan sebelum November 2024 Lapangan penuh tumpah ruah. Kolaka, Bau Bau, Konawe Selatan diantaranya menyambutnya gegap gempita. Dokumentasi mereka memperlihatkan bagaimana masyarakat tumpah di lapangan besar.

Pose mereka percaya diri menggambarkan penerimaan publik. Bahkan pidato Nur Alam yang dikutip ragam media tanpa canggung lagi menyodorkan Sang Bahteramas jilid 2.

Pernahkan anda berpikir apakah percaya dirinya Ibu Tina Nur Alam serta putra putrinya itu alamiah. Lahir dari kemampuan pribadi mereka untuk berkontestasi di Pilkada Serentak 2024.
Atau hanya karena embel embel nama NA dengan segala pengaruhnya.

Saya mencoba mengangkat fenomena ini untuk mengulik politik dinasti. Kali ini saya meminjam pemikiran Bourdieu, Habitus dan Arena. Pemikiran Bourdieu ini akan membedah apakah benar
tampilnya 3 orang klan NA hanya menjual nama besar suami dan ayahnya.

Berdasar konsep Bourdieu, majunya anggota klan NA sebagai habitus mereka. Seperti Giona dan Radan hari ini, ibu mereka Tina Nur Alam datang dari keluarga besar Kepala Daerah. Ibu 3 anak
ini tumbuh di keluarga Alm H. Andry Jufri, SH (Bupati Konawe 1977-1988). Tina Nur Alam- saat itu masih menyandang nama Asnawaty Hasan- bersama Tony Andry Jufri (Bupati Koltim 2014-
2019) putra Alm. Andry Jufri tumbuh dengan pengaruh eksternal sebagai aparatur sipil bahkan kepala daerah.

Pengalaman mendampingi NA sebagai ibu gubernur serta pengalaman pribsebagai Anggota DPR RI, rasanya layak jika Tina Nur Alam menguji peruntungannya. Giona maupun Radan adalah pemilik gen Nur Alam yang lahir saat ayahnya ‘berprofesi’ sebagai
politisi PAN dan menjabat Wakil Ketua DPRD Prov. Sultra 2004-2008. Sehingga politik benar benar merasuk diri mereka.

Menurut Bourdieu habitus adalah “a set of dispositions which incline agents to act and react incertain ways. The dispositions generate practices, perceptions and attitudes which arc ‘regular’ without being consciously co-ordinated or governed by any ‘rule’. The dispositions which constitute the habitus are inculcated, structured, durable, generative and transposable –“ (Pierre
Bourdieu, Language and Symbolic Power. The English Translation, 1991:12).

Kurang lebih maknanya adalah diri kita bukan tentang apa yang kita bawa sejak lahir. Melainkan hasil konstitusi lingkungan yang membentuk kita. Coba saya bawa dalam analogi makanan. Istri saya yang berlatar belakang Jawa senang dengan makanan manis berbumbu. Sementara saya sendiri yang lahir dari budaya kuliner Muna Tolaki penghoby masakan bening (minim bumbu).

Baik istri maupun saya dipengaruhi oleh lingkungan kuliner kami tumbuh. Habitus istri saya, masakan dengan tekstur rasa manis berbumbu sementara habitus saya dengan lidah hidangan
bening. Sehingga Habit ini menurut Bourdieu bukan kecenderungan bawaan lahir saja melainkan pengaruh lingkungan juga.

Menilik klan NA, kita yakini aktivitas keluarga ini dipenuhi ornamen, simbol, makna dunia politik & pemerintahan. Bahkan sejak dini sekali. Inilah yang kemudian membangun habit yang tertanam, terstruktur secara ‘generatif’ pada anggota keluarga itu.

Perjalanan politik klan NA diwarnai fase internalisasi eksterior, yakni dimana pengaruh luar (eksternal) membangun kesadaran pribadi individu, arah berpikir dan berperilaku individu.

Selanjutnya setelah terinteranalisasi dan berproses pada diri individu selanjutnya menuju fase individu melakukan eksternalisasi interior. Fase inilah yang menampilkan fikiran dan sikap individu kepada lingkungannya. Di momen inilah Giona dan Radan termasuk ibunda mereka,
menjelma dari sekedar anak politisi menuju politisi sejati.
Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis itu menawarkan lensa teoritis (Habitus, Modal, Arena) yang berguna untuk memahami fenomena politik dinasti seperti yang disematkan pada keluarga
politikus ini :

Habitus, dalam pandangan Pierre Bourdieu, adalah kumpulan disposisi dan praktik yang terinternalisasi sejak dini, dibentuk oleh lingkungan sosial dan budaya tempat individu tumbuh. Dalam konteks keluarga Nur Alam, habitus ini lahir dari pengalaman panjang mereka mengelola kekuasaan dan privilese politik khususnya selama Nur Alam dua periode memimpin Sulawesi
Tenggara. Tidak mengherankan jika Tina, Giona, dan Radan memandang politik bukan sekadar
pilihan karier, tetapi sebagai bagian alami dari hidup mereka.

Selain habitus, modal menjadi senjata penting dalam mempertahankan posisi di arena politik. Klan Nur Alam memiliki semua jenis modal yang disebut Bourdieu: modal ekonomi berupa kekayaan yang mendukung logistik politik, modal sosial melalui jaringan relasi luas yang terbangun selama bertahun-tahun, hingga modal simbolik berupa nama besar Nur Alam yang telah menjelma menjadi “brand politik.” Bagi publik, nama ini membawa memori kepemimpinan, bagi para loyalis, ia adalah simbol harapan, dan bagi lawan politik, ia adalah rintangan besar. Tidak berlebihan jika Tina Asnawaty Hasan kemudian memilih melekatkan nama “Nur Alam” sebagai
identitas politiknya—sebuah langkah yang penuh kesadaran simboli.

Arena politik, dalam teori Bourdieu, adalah ruang pertarungan di mana para aktor mengadu modal untuk memperebutkan posisi dominan. Bagi klan Nur Alam, Pilkada 2024 adalah arena strategis untuk kembali mengukir pengaruh. Di medan ini, modal ekonomi terbesar, modal sosial terluas, dan modal simbolik terkuat menjadi “amunisi” yang sulit ditandingi. Bahkan dalam bahasa candaan politik Sultra, kunci kemenangan sering diringkas dalam tiga kata: “Elektabilitas, Kapasitas, dan Isi Tas.” Ketika ketiganya berpadu, peluang menang terbuka lebar.

Akhirnya, fenomena ini adalah wujud reproduksi sosial proses di mana hierarki kekuasaan diwariskan agar dominasi tetap terjaga lintas generasi. Langkah politik Nur Alam melalui istri dan anak-anaknya bukan sekadar strategi, tetapi juga refleksi naluriah untuk menjaga posisi keluarga di puncak piramida politik Sulawesi Tenggara. Wajar jika banyak yang melihatnya sebagai politik dinasti; wajar pula jika sebagian masyarakat justru memandangnya sebagai kontinuitas kepemimpinan yang diharapkan.

Fenomena politik keluarga yang berkembang di Sulawesi Tenggara, sebagaimana tercermin pada pencalonan Siska Karina Imran, Radan, Giona, bahkan Tina Nur Alam memunculkan diskursus
publik yang menarik. Dalam kerangka pemikiran Bourdieu, kita dapat melihat bagaimana modal baik ekonomi, sosial, maupun simbolis dimanfaatkan untuk membangun posisi politik.

Habitus politik yang lterinternalisasi dalam keluarga menjadi faktor penting yang mendorong mereka melihat kekuasaan sebagai ruang alami untuk berkarya.

Namun, perlu ditegaskan bahwa keberadaan figur-figur tersebut dalam politik tidak seharusnya menjadi persoalan. Selama kontestasi politik berlangsung secara adil fairness. Yang mesti dikritisi
adalah praktik-praktik yang merusak prinsip fairness: pemanfaatan infrastruktur negara, mobilisasi sumber daya publik, atau akses istimewa yang hanya dimiliki karena relasi kekuasaan.

Dinasti politik menjadi berbahaya bukan karena ikatan darah, tetapi ketika ia menutup ruang bagi kompetisi yang sehat dan inklusif.
Ingat, Politik menurut Plato (Filsuf) adalah sarana distribusi keadilan. Jadi bukan ajang pewarisan kekuasaan, tapi medan meritokrasi yang harus adil bagi semua. Anak bangsa berhak memimpin,
asal tanpa privilese kekuasaan yang menutup ruang rakyat. Sebaliknya label Dinasti, jangan jadi senjata mereka yang lemah untuk mematikan figur potensial yang datang dari latar belakang pemimpin terdahulu.

 

Muh. Nato Alhaq (Kaprodi Desain Komunikasi Visual UM Kendari, Mahasiswa Pascasarjana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *